Langsung ke konten utama

MAVROS: COKLAT PANAS DAN CINCIN BERMATA SAFIR MERAH

MAVROS: COKLAT PANAS DAN CINCIN BERMATA SAFIR MERAH


“Setiap pertemuan adalah takdir. Setiap perpisahan adalah takdir. Terkadang kau berpikir sedang berjalan melawan takdirmu, nyatanya melawan takdirmu itu sendiri adalah juga menjalani apa yang telah menjadi takdirmu.”


Asap yang berasal dari secangkir coklat panas itu mengepul ke atas dan memenuhi ruangan berfasad kaca transparan, tempat seorang gadis duduk termangu menghabiskan sore harinya. Sesekali asap itu menyusup melalui celah-celah rambutnya dan membuat tubuh gadis itu menangkap aroma khas coklat yang menggoda. Belum ada satu sendok pun coklat yang masuk ke kerongkongannya. Sejak tadi hanya tenggorokannya saja menghirup udara keluar masuk yang bertamu tanpa permisi ataupun mengucap salam. Lambungnya kosong bahkan sejak tadi pagi.

Di luar sangat dingin, orang-orang di kanan kiri semuanya mengenakan pakaian musim dingin, tebal dan hangat, sepertinya berasal dari merk fashion terkenal mungkin semacam chanel atau gucci. Selain pakaian tebal, di meja mereka masing-masing juga terdapat secangkir coklat panas. Mereka meneguk coklat panas itu dengan mantap tanpa ragu, sesekali tangan mereka memang sengaja menggenggam cangkir cukup lama sekalian menghangatkan tangan yang hampir beku di tengah musim dingin. Usai meneguk, tampak gelas mereka satu persatu diletakkan kembali ke meja sehingga menimbulkan bunyi “Tiiiing”. Kemudian tak sampai satu menit mereka kembali meneguk coklat itu dengan agak kasar sehingga menyisakan noda di sudut bibir. 

“Ciih.. seperti anak kecil saja.” Seorang gadis yang sedari tadi duduk diam di ruangan itu tiba-tiba mengeluarkan suara kecil bernada sinis.

“Mereka minum seperti barbarian.. Bagaimana bisa mereka menyia-nyiakan secangkir coklat panas yang begitu nikmat ini dengan cara seperti itu. Lebih baik mereka membeku kedinginan di luar sana dibandingkan berada di tempat ini. Apa yang ada disini terlalu sempurna jika hanya untuk dinikmati berandal-berandal yang kehausan.” Gadis itu kembali berbicara, namun kali ini hanya dalam hatinya.

“Yang seperti ini harus dinikmati dengan cara yang istimewa. Hanya butuh sedikit tetesan cherry yang merah dan segar kemudian ini akan sempurna.” 

Gadis itu mengambil sebuah botol kaca bening kecil dari saku sebelah kanan mantel bulunya. Tadinya botol itu dibungkus dengan kain berwarna merah tua yang diikat dengan tali rami. Botol itu berisi cairan merah kental. Tampak sangat merah dan menggoda. Gadis itu membuka kayu kecil yang menjadi penutup botol dan meneteskan cairan itu ke dalam cangkir yang berisi coklat panas tadi.

“3 tetes saja sudah cukup.”

Gadis itu kemudian menutup botol kecil itu, membungkusnya dengan kain merah, mengikatnya dan memasukkannya kembali ke dalam mantel bulunya seperti semula.

“Nah.. begini seharusnya coklat panas terlezat di kota ini dinikmati. Orang-orang masa sekarang yang tinggal di kota tua ini benar-benar punya selera rendah dalam menikmati sebuah hidangan nikmat masa lalu. Memalukan.”

Kemudian cangkir berisi coklat panas itu diangkatnya perlahan dengan gerakan jari yang begitu lentik, tampak pula cincin bermata safir merah indah yang melekat di pangkal jari telunjuknya. Kulit punggung tangan gadis itu tak kalah putihnya dengan warna cangkir yang berada digenggamannya. Ia lalu mendekatkan cangkir itu tepat di depan hidungnya yang mungil tetapi mancung. Perlahan-lahan, gadis itu menghirup ringan aroma coklat itu. Makin lama makin ia hirup dalam-dalam tidak peduli jika beberapa partikel coklat itu bisa saja ikut terhirup dan masuk ke dalam indera penciumannya.

“Hmmm.. masih segar dan nikmat seperti saat pertama kali aku meneguknya dulu.”

Akhirnya satu tegukan coklat panas meluncur perlahan menyusuri kerongkongannya yang gelap menuju organ pencernaannya. Teringat olehnya, coklat itu mungkin hal pertama yang masuk dan terproses oleh lambungnya. Sejak tadi pagi gadis itu benar-benar belum makan ataupun minum apapun. Segelas air putih pun tidak.

Satu tegukan belum cukup untuk membuat coklat di dalam cangkir itu terkuras habis. Terlihat masih ¾ coklat di bawah sana. Lagi, gadis itu meneguk untuk kedua kalinya.

“Hmmm.. ini benar-benar masih sangat sama.”

Gadis itu kembali memuji secangkir coklat panas yang digenggamnya cukup erat. 

Merasakan kembali kenangan saat menikmatinya sendirian di kala musim dingin di tahun-tahun yang telah berlalu. Tidak lupa ia juga menjilati setiap ujung sisi bagian atas cangkir itu, mengecap nikmat hingga tidak ada yang tersisa. Ia tak mau menyisakan setetespun untuk siapapun juga.

“Bagaimana bisa aku tidak kembali lagi ke tempat ini? Karena tidak ada coklat panas senikmat ini di manapun di belahan kota ini. Hanya di tempat ini saja. Bahkan sirup cherryku hanya terasa nikmat bila aku menikmatinya di sini. Aku selalu kehilangan selera makan dan hanya tempat inilah yang membuat suasana hatiku berubah menjadi lebih baik.” 

Ia berhenti sebentar ketika berbicara dalam hatinya, dan 5 detik kemudian ia melanjutkan kembali dengan kata-kata masih di dalam hatinya.

“Sayang sekali. Orang-orang itu benar-benar tidak pantas untuk secangkir coklat panas di sini. Jangankan satu cangkir, satu tegukan saja tidak. Apalagi satu tegukan, satu tetespun aku tidak akan membiarkan mereka yang telah mencicipinya merasakan kesenangan lebih lama lagi.”

Puas berbicara dalam hati dan sambil mengutuk orang lain yang juga mengunjungi tempat ini. Ia kembali meneguk coklat itu untuk ketiga kalinya. Kali ini ia meneguknya habis tak bersisa setetespun. Ia bahkan menjilati kembali ujung-ujung bagian atas permukaan cangkir dan mengambil sisa-sisa coklat yang menempel pada  permukaan bagian dalam cangkir dengan ujung jari telunjuknya, menampakkan kembali cincin bermata merah menyala itu. Wanita manapun akan jatuh cinta melihat keindahan cincin itu.

“Hmmm.. tidak pernah diragukan lagi, tegukan ketiga memang selalu menjadi 

bagian yang ternikmat.”


Kemudian ia meletakkan kembali cangkir yang telah kosong itu di atas meja. Terlihat di beberapa bagian cangkir tadi terdapat noda merah lipstick bekas kecupan bibir gadis itu. Kembali ia melihat sekelilingnya dan ternyata rasa hatinya belum puas juga untuk mengutuki orang- orang di tempat itu. Namun ia terpaksa menahan diri dan bergegas untuk pergi meninggalkan tempat itu segera setelah coklat panasnya baru saja habis. Gadis itu merapikan mantelnya dan memakai kacamata hitam yang sejak tadi ia letakkan di saku sebelah kiri mantelnya.

Gadis itu berdiri dan beranjak pergi meninggalkan kursi yang sejak tadi menjadi tempatnya meneguk kenikmatan. Itu kursi yang istimewa, bukan karena tampilan mewah atau kerumitan desainnya. Kursi yang ia duduki tadi memang tercipta untuknya, tidak pernah ada yang berani mendudukinya sekalipun tempat sedang ramai sehingga pengunjung kehabisan tempat duduk. Gadis itu sebenarnya tidak sering datang ke tempat itu, hanya sesekali saja di saat bulan sabit terlihat lebih menawan dibandingkan bulan purnama. Mungkin gadis itu punya keistimewaan lain bagi tempat itu.

Ia berdiri tegap dan mulai berjalan sehingga menampakkan sepatu boot hitam selutut yang menghiasi kaki jenjangnya. Jangkauan langkahnya lebar dan hentakan sepatunya terdengar pasti. Ia berjalan dengan elegan dan tampak sedikit aura keangkuhan. Ia melewati beberapa meja pengunjung lain menuju kasir. Saat gadis itu berjalan waktu seperti berhenti untuk beberapa saat dan kemudian kembali berjalan dengan sendirinya. Magis!

Gadis itu sampai di meja kasir, sedikit memelorotkan posisi kacamatanya ke bawah dan mata kirinya mengerling kepada penjaga kasir yang merupakan seorang laki-laki muda berperawakan tinggi besar dengan rahang yang tegas dan rambut hitam rapi.

Gadis itu mengerling sambil menunjukkan senyum simpulnya. Penjaga kasir yang lumayan tampan itu tersenyum paham dan kemudian sedikit menundukkan badannya tanda memberikan salam hormat. Gadis itu tidak balas menunduk kepada si penjaga kasir, akan tetapi langsung berbalik arah dan membenarkan kacamata hitamnya ke posisi semula. Tanpa membayar coklat panas yang telah ia nikmati tadi, ia kembali berjalan ke arah pintu keluar. Kali ini ia berjalan dengan menampakkan smirk menawan yang tercetak di wajahnya.

Ia kembali berjalan melewati beberapa pengunjung bak pragawati ditunjang dengan tubuhnya yang ramping dan tinggi semampai. Tiba-tiba terdengar suara pekikan dari salah satu pengunjung tempat itu.

“Aduuuh... Sakit sekali.” 

Salah satu pengunjung wanita di tempat itu mengaduh kesakitan sambil memegangi pipi sebelah kirinya yang tampak tergores oleh sesuatu yang tajam. Bukan goresan pisau atau belati, lebih seperti kaca atau sebuah kristal. Di saat yang lain, tampak sebuah cincin bermata safir merah juga ikut terlempar sampai kebagian kolong meja salah satu pengunjung. Seorang pria yang berada satu meja dengan perempuan yang pipinya tergores tadi mengambil cincin bermata merah itu sambil memandangnya dengan takjub, lupa bahwa kekasihnya yang terluka berada tepat di depannya sedang mengaduh sambil memegangi pipinya dengan kedua tangannya.

"Aaaahh.. Maafkan aku, Tuan.” Gadis pemilik cincin bermata merah safir itu 

merebut kembali cincin itu dari tangan pria tersebut dengan mengucap maaf secara elegan tanpa rasa panik sedikitpun.

“Cincin ini memang sangat indah bukan, Tuan?” 

Gadis itu kembali mendekatkan cincin itu tepat di depan mata pria tersebut dengan jarak kurang lebih 3 cm saja, membuat kedua bola mata pria itu memutar dan bergeser ke sudut mata bagian dalam dengan pandangan tetap fokus terpana pada cincin bermata safir merah yang sangat menawan itu, sulit sekali untuk menolak melihatnya.

“Selain indah, cincin ini juga punya permata yang cukup tajam. Setidaknya ini cukup untuk bisa membuat luka gores pada pipi wanita yang sedang bersama anda itu. Tapi walaupun cincin ini sangat indah, ini sebenarnya tidak terlalu istimewa. Kau tahu, Tuan? Ada orang lain di luar sana yang juga memilikinya, jadi milikku ini bukan satu-satunya.” Kali ini gadis itu berbicara sambil mendekatkan wajahnya di telinga kanan pria tersebut. Ia berbisik mesra di telinga pria tersebut sambil membelai lembut pipi sang pria.

“Satu lagi, Tuan. Sebaiknya anda segera mengobati luka di pipi istri anda. Ah, tunggu.. Sepertinya tidak. Bukankah wanita itu tampak terlalu muda untuk menjadi istri anda? Sangat tidak sesuai dengan wajah keriput dan gumpalan lemak yang menggulung di balik perut anda. Kapan anda akan menghancurkan benda bergelambir itu? Ckckck. Rasanya sudah lama sekali aku tidak tertawa geli seperti ini. Ah, tentu saja wanita di depan anda ini pasti seorang wanita simpanan. Sayang sekali, wanita itu.. Ah maksudku gadis itu mau bersama anda hanya karena uang. DIA TERLALU CANTIK UNTUKMU, TUAN.” Gadis itu menghela nafas sebentar kemudian kembali melanjutkan kalimatnya yang masih terpotong.

“Lagipula, gadis itu masih perawan, Tuan. Berhati-hatilah agar tidak menyentuhnya. Anda harusnya tahu diri.” Gadis berkacamata hitam itu kali ini berbicara dengan nada serius sambil tangan kanannya menekan keras pundak sebelah kanan milik pria tersebut sehingga pria tersebut sedikit kesakitan. Gadis itu kemudian menjauhkan kepalanya dari wajah pria tersebut dan kembali menegakkan badannya ke belakang.

“Sebaiknya anda segera mengobati luka di pipi milik kekasih anda. Aku harus segera pergi karena sedang banyak urusan.” Gadis itu kembali berbicara dengan nada ketus namun elegan dan tatapan lurus ke depan tanpa melihat lawan bicaranya.

Gadis itu kemudian melihat ke arah kanan bawah. Tampak seorang pengunjung wanita dengan luka gores di pipinya hanya terdiam menatap seorang gadis berperawakan tinggi yang sedang berdiri menatapnya pula. Ya, luka itu disebabkan oleh cincin bermata safir merah ketika gadis itu sedang berjalan menuju pintu keluar. Karena gesekan itu pula, cincin itu bisa sampai terlempar dan terlepas dari pangkal jari telunjuk gadis tersebut.


Gadis itu sedikit menunduk dan memegang kedua tangan pengunjung wanita itu yang sedang digunakan untuk menutupi luka akibat gesekan permata safir merah dari cincin tersebut. Gadis itu kemudian menarik kedua tangan pengunjung wanita tersebut membuat wajahnya terekspos secara sempurna memperlihatkan goresan luka yang masih segar di pipi wanita itu.

“Apa yang sedang kau lakukan gadis muda? Bukan begitu cara kerjanya. Kedua tanganmu itu bisa mengotori sesuatu yang berharga di baliknya.” Gadis berkacamata hitam itu berkata dengan menyunggingkan sedikit senyum simpul sambil merogoh sebuah botol kaca kecil terbungkus kain merah dari saku sebelah kanan mantel bulunya. Ia membuka ikatan pada kain itu sekaligus penutup botolnya dan mengarahkan botol tersebut ke pipi wanita itu.

“Ini sari cherry merah yang segar, manis dan sangat berharga.” Gadis itu berkata demikian sambil menempelkan botol tersebut pada pipi wanita itu dengan posisi mulut botol berada tepat di sudut luka gores akibat permata cincin. Tiga tetes darah menetes dari pipi wanita itu dan langsung meluncur melalui mulut botol, masuk secara sempurna ke dalam botol. Gadis itu kembali menutup botol dan membungkusnya dengan kain merah. Benda itu kembali dimasukkan ke dalam mantel bulunya.

Gadis itu lantas berdiri dan mengarahkan pandangannya ke depan menyusuri pintu keluar. Gadis itu mulai berjalan dengan langkah yang tak kalah lebar dari sebelumnya sambil sesekali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel bulunya. Ia beranjak pergi tanpa mengucap sepatah kata pun bahkan sekadar salam perpisahan pun tidak. Ia terus berjalan meninggalkan orang-orang di tempat itu dengan sejuta pertanyaan di kepala mereka.

Ia keluar dari tempat itu tanpa harus susah payah membuka pintu kaca itu. Angin dengan sendiri berpihak pada gadis itu dengan cara membuat pintu itu terbuka. Gadis itu melangkah keluar sekarang. Tidak butuh waktu hingga 10 detik untuk membuat gadis itu menghilang dari pandangan pengunjung tempat itu.

Dari luar tempat itu, tampak seorang gadis berkacamata hitam dengan cincin bermata safir merah di jari telunjuknya sedang melangkah keluar. Tampak pada bagian depan bangunan yang dominan oleh kaca, tepatnya di atas pintu tempat tersebut terdapat sebuah papan bertuliskan “L A R V C H O C O L A T est 1794” diikuti lagi dengan sebuah kalimat di bawahnya “Le meilleur chocolat chaud de la ville”, kalimat yang menjelaskan bahwa tempat itu memang terkenal dengan coklat panas paling enak di kota tersebut. Larv A. N. merupakan pendiri tempat tersebut. 

Larv yang notabene orang yang cukup terkenal pada masa itu justru memutuskan untuk tidak menikah hingga akhir hayatnya. Selain merupakan pendiri tempat tersebut, ia juga sekaligus merupakan penemu racikan tepat dan nikmat dari minuman coklat panas yang hingga saat ini belum tergantikan posisinya. LARV CHOCOLAT sebagai penyandang coklat panas paling enak di kota ini. 

Di seberang jalan tepat di depan tempat yang menjual coklat panas itu berada. Dua orang gadis muda berusia sekitar 16 atau 17 tahunan terlihat berjalan bersama lengkap dengan pakaian musim dingin yang berwarna gelap. Kedua gadis itu berperawakan cukup tinggi dengan warna rambut mereka masing-masing adalah pirang dan coklat gelap.

“Ini baru hari ketiga ketika salju mulai turun di tahun 2018, namun badanku rasanya lebih dingin dari balok es. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Apakah kita akan tetap hidup di tengah musim dingin kali ini. Ah.. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai ke tempat itu.” Gadis berambut pirang itu seakan mengutuki musim dingin dengan perasaan sebal yang mendalam kepada seorang teman yang berjalan di sampingnya.

“Tenang, sebentar lagi kita akan sampai di tempat itu. Aku sudah mendengarnya cukup lama karena aku tinggal di kota ini sudah lebih dari 10 tahun. Walaupun begitu aku belum pernah datang kesana. Kata orang-orang, tempat itu menjual coklat panas paling enak di kota ini. Tentu saja itu bagus untuk menghangatkan tubuh kita yang sekarang ini sedang menggigil. Perasaan kita juga akan membaik setelah meminumnya nanti.” Gadis berambut coklat yang sejak tadi diam mendengarkan temannya yang berambut pirang, akhirnya mulai bersuara juga.

“Ah.. benarkah itu? Apakah memang seenak itu? Apakah tempat itu sudah berdiri lebih dari 100 tahun? Kudengar jika sebuah tempat mampu bertahan lebih dari 100 tahun artinya memang produk yang dijualnya itu bagus.” Gadis berambut pirang itu kembali membuka pembicaraan.

“Kurasa aku tak perlu menjawabnya sekarang karena kau bisa melihat jawabannya sendiri di papan itu.” Gadis berambut coklat gelap itu menunjuk sebuah tempat di seberang jalan dengan papan bertuliskan “L A R V C H O C O L A T est 1794”

“Jadi itu tempat yang kau maksud tadi. Bangunannya tidak terlihat seperti berusia ratusan tahun. Pintu kacanya bahkan terlihat sangat kekinian. Apakah papan itu benar-benar jujur atas klaim tempat itu didirikan? Lalu siapa itu LARV? Apakah dia pendiri tempat ini atau apa?” Gadis berambut pirang itu memang suka banyak bertanya dan punya sifat sedikit keras kepala.

“Ya tentu saja dia pendirinya. Menurutmu mengapa namanya bisa ada di papan itu jika dia bukan orang penting di tempat itu. Kata nenekku, pendiri tempat ini juga punya paras yang amat cantik dan menawan.” Gadis berambut coklat gelap itu kembali menjelaskan dengan sabar setiap pertanyaan dari teman di sebelahnya.

“Oke.. oke.. terserahlah.. ayo cepat! Aku sudah hampir membeku sekarang. Ayo berjalan lebih cepat agar segera sampai diseberang jalan.” Gadis berambut pirang bicara sambil bergegas lari menyeberang jalan.

“Hei.. tunggu aku. Pelan-pelan saja, jalanan ini sangat licin. Kau bisa terjatuh nanti. 

Hei.. Dasar keras kepala!” Gadis berambut coklat gelap berusaha memanggil temannya yang lari lebih dahulu meninggalkannya. Walaupun temannya sedikit keras kepala, tetap saja ia menyayangi temannya itu.

“Teeeettt.. Teeeett.. Teeeeeeettttttt...”. Terdengar bunyi klakson mobil dari arah utara diikuti dengan sorot lampunya yang jingga menyilaukan. Mobil itu melaju cukup kencang di jalanan kota yang masih licin karena salju yang turun di hari ketiga. 

Mobil yang dikemudikan oleh seorang pria paruhbaya pada hari menjelang senja kala itu tepat menuju ke arah gadis berambut pirang yang sedang berlari dan posisinya berada di tengah jalan raya.

“Teeeeeetttt.. Teeeeeeeeeettt..”. Suara klakson mobil yang berwarna silver itu kian terdengar dan sorot lampunya makin menyilaukan. Sekarang jarak mobil dengan gadis itu tak lebih dari 10 meter.

“Aaaaaaakkkhh...” Gadis berambut pirang itu terkejut dan berteriak sangat kencang dengan satu tarikan nafas. Suara gadis itu dan suara klakson mobil saling beradu dengan posisi sama-sama kuat.

“Bruuukkkk.” Gadis berambut pirang itu terlempar ke tepian jalan tepat di bawah lampu kota yang remang-remang. Ia tidak terjatuh sendirian, melainkan punggungnya tidak menyentuh dinginnya jalanan kota karena berada dalam dekapan seorang perempuan yang memakai mantel bulu.

Gadis berambut coklat yang melihatnya dari seberang jalan segera menghampiri mereka berdua dan terutama memastikan keselamatan temannya. Ketika ia telah sampai di tepian jalan segera ia mengulurkan tangan untuk mereka berdua. Gadis bermantel bulu yang telah menyelamatkan temannya yang hampir menjumpai maut tadi segera berdiri sendiri tanpa memerdulikan uluran tangan dari gadis berambut coklat. Gadis bermantel bulu itu merapikan pakaiannya dari butiran-butiran salju yang menempel pada sela-sela mantel bulunya sekaligus ia juga membetulkan posisi kacamata hitamnya yang melorot hingga bagian hidungnya. Selesai dengan penampilannya gadis penolong itu beranjak pergi. Ia melangkah tanpa meninggalkan kata-kata hanya diam seribu bahasa. 

Langkahnya tertahan ketika tiba-tiba pergelangan tangan kanannya digenggam dari belakang oleh gadis pemilik rambut coklat gelap. Merasa ada yang menahan tangannya, ia pun segera menoleh dengan tatapan cukup tajam ke arah gadis itu. Matanya membulat dan menunjukkan tatapan intimidasi ke arah gadis berambut coklat yang berani memegang tangannya tanpa permisi.

“Ma... maafkan aku, Nona. Apakah benda ini milik Anda?” Gadis berambut coklat itu menunjukkan sebuah cincin bermata safir merah yang ia pegang dengan tangan kirinya. Ia menatap gadis penolong temannya tadi dengan raut wajah ragu dan sedikit ketakutan.

“A.. a.. akuu tadi menemukan cincin ini tepat di sebelah Anda jatuh. Kupikir ini milik anda. Ja..” Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, gadis penolong temannya tadi segera menyela.

“Ah.. iya. Benda ini memang milikku. Terima kasih telah mengembalikannya 

kembali kepada pemiliknya.” Gadis penolong itu kali ini tersenyum simpul kepada gadis berambut coklat gelap dan sedikit mengendurkan tatapan tajamnya yang sedari tadi seperti haus ingin menerkam manusia.

“Nona.. sebelum anda pergi, aku juga ingin berterima kasih atas bantuan anda tadi. Terima kasih telah menolong temanku yang tadi hampir saja tertabrak mobil.” Gadis berambut coklat itu mengucapkan ucapan terima kasih yang tulus kepada orang yang telah menjadi dewi penolong untuk temannya pada hari itu.

“Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Kau tahu? Terkadang aku mencoba menolak takdirku, tapi nyatanya aku sedang menjalani takdir itu sekarang. Melawan takdirku sama saja menjalani takdirku itu sendiri.” Gadis penolong itu kali ini tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Ia terlihat sangat cantik dan elegan. Senyumannya tidak berlebihan, akan tetapi sangat manis.

“Tentang temanmu.. Seperti yang telah kukatakan kepadamu baru saja. Aku hanya sedang mencoba menjalani takdirku.” Gadis penolong itu kembali melanjutkan ucapannya sambil menaikkan posisi kacamata hitamnya agar lebih ke atas. Ia berbicara tanpa memandang gadis berambut coklat gelap itu. Gadis penolong itu hanya berbicara dengan raut wajah datar dan pandangan wajahnya lurus ke depan mengarah pada seberang jalan tanpa memerhatikan lawan bicaranya.

“Ehmmhh.. Apa yang baru saja terjadi? Siku tanganku rasanya sakit sekali.”

Percakapan dua orang yang sedang berlangsung itu tiba-tiba dipecah oleh sebuah suara yang datang dari pihak ketiga. Gadis berambut pirang yang tadi hampir saja tertabrak oleh mobil telah tersadar dari keadaan setengah koma dan mencoba memastikan keadaannya sendiri kepada temannya yakni si pemilik rambut coklat gelap.

Bersamaan dengan saat itu, gadis bermantel bulu dengan kacamata hitam dan sebuah cincin bermata safir merah yang kembali ia sematkan pada jari telunjuknya, mulai melangkah pergi meninggalkan dua sahabat itu lagi-lagi tanpa ucapan basa-basi atau salam perpisahan. Gadis itu kembali berjalan dengan elegan menuju keseberang jalan. Suara hentakan sepatu boot hitamnya membelah jalan raya kota yang masih basah.

Masih dengan sepatu boot dan aspal hitam jalan raya kota Paris yang nyaring beradu dan bergesekan. Angin dingin yang bercampur butiran salju bertiup cukup kencang dadi sisi barat, bertiup berlawanan dari arah gadis itu berjalan. Angin yang menerpa dari arah depan menyapu wajahnya dan menerbangkan rambut hitamnya yang ringan, hampir tiada yang menempel lagi pada bahu yang berlapis mantel bulu itu. 

Angin itu bertambah kencang menerpa tubuhnya, bahkan beberapa butiran salju menempel pada mantel bulunya juga wajahnya. Butiran-butiran salju yang dingin itu menempel pada pipinya dan sebagian tersangkut di sela-sela rambutnya yang hitam lurus. Semakin kencang hingga angin itu mampu menerbang sebuah benda logam yang bergelantungan di leher gadis itu. Gadis itu tidak peduli dan tetap berjalan tanpa merasa goyah sedikitpun. Langkahnya selalu lebar tanpa keraguan.

Benda logam itu adalah sebuah kalung yang terbang hingga ke tepian jalan dekat dua orang gadis yang berambut pirang dan juga coklat gelap tadi. Gadis berambut coklat yang menyaksikan kejadian itu di depan matanya mencoba untuk memanggil gadis bermantel bulu pemilik kalung tersebut. Gadis yang juga sekaligus telah menyelamatkan temannya beberapa detik yang lalu dari intaian maut. Ia merasa harus membalas budi. 

Gadis berambut coklat itu memanggil-manggil gadis bermantel bulu tadi yang tengah berjalan di bawah terpaan angin. Tak ada sautan, wajah yang menoleh ataupun sebuah sinyal bahwa gadis bermantel bulu itu akan menghentikan langkahnya. 

Gadis berambut coklat itu putus asa dan lagi mengharapkan bahwa gadis penolong temannya tadi akan berbalik karena mendengar suaranya yang sedang memanggil gadis itu. Gadis berambut coklat itu memutuskan untuk menyusul penolong temannya dan menggenggam pergelangam tangannya seperti tadi. Pikirnya, orang itu pasti akan berhenti dan tersenyum manis lagi seperti kejadian yang baru saja terlewati beberapa detik yang lalu.

Gadis berambut coklat itu berlari sambil membawa sebuah kalung dalam genggaman tangannya, berharap gadis itu akan segera berbalik karena sulit sekali berlari di aspal jalan yang masih basah dan licin. Gadis berambut coklat gelap itu akan merasa bersalah apabila ia tidak bisa mengembalikan kalung itu kepada pemiliknya. Ia berlari dan sedikit memekik ketika keseimbangan tubuhnya mulai goyah dan hampir saja terpeleset.Gadis bermantel bulu yang telah sampai di seberang jalan itu tiba-tiba menolehkan setengah wajahnya kepada seorang gadis berambut coklat yang mengejarnya hingga membelah separuh jalan raya. Dapat dilihat oleh gadis berambut coklat itu melalui tempatnya berdiri, gadis bermantel bulu itu menoleh sambil menyunggingkan sedikit senyuman, kacamata hitamnya juga memancarkan kilauan cahaya berwarna jingga yang ternyata berasal dari pantulan sebuah mobil yang datang dari arah utara.

Gadis berambut coklat itu reflek memundurkan badannya menjauhi jalan raya untuk menghindari mobil yang sedang melaju. Ia mundur menuju ke tepian jalan tempatnya berada semula. Mobil hitam melaju dari arah utara selama beberapa detik dan meninggalkan banyak ceceran salju di depan tempatnya berdiri. Usai mobil hitam itu menghilang di makan jalan berikut sorot lampunya, gadis itu segera mengubah arah pandangannya kembali ke seberang jalan mencari keberadaan gadis pemilik kalung yang masih berada dalam genggaman telapak tangannya.

Ia melihat ke seberang jalan raya. Tiada siapapun di sana. Ia memutar kedua bola matanya ke kiri dan kanan, memanfaatkan ekor matanya untuk menyusuri tiap sisi jalan bagai sebuah mata angin. Gadis berambut coklat itu tidak melihat seorangpun. Gadis bermantel bulu, dengan kaca mata hitam menawan dan cincin bermata safir merah serta senyuman yang mematikan itu menghilang dari pandangan matanya bersamaan dengan menghilangnya mobil hitam yang melaju tadi. Keduanya sama-sama menghilang ditelan kegelapan malam. Bedanya jika mobil hitam tadi meninggalkan jejak salju yang berceceran, sedangkan gadis penolong temannya itu tidak meninggalkan apapun. Satu-satunya hal yang ia ingat adalah senyuman mematikan dari gadis itu.

Terlintas dalam pikiran untuk kembali mengejarnya dan tetap berlari menuju ke seberang jalan. Namun saat gadis berambut coklat itu membalikkan tubuhnya ke arah belakang dan melihatnya temannya yang sudah kedinginan dengan tubuh yang menggigil dan bibir yang pucat kebiruan. Mereka tidak menyangka bahwa harus mengalami insiden seperti ini. Mereka hanya berniat untuk menikmati secangkir coklat panas dan tidak pernah membayangkan akan terjadi hal seperti tadi.

Gadis berambut coklat itu segera memapah temannya menuju ke dalam tempat yang menjual coklat panas paling enak di kota itu. Mereka masuk bersama ke dalam tempat itu, meninggalkan keheningan jalan kota. Mereka duduk berhadapan dan memesan masing-masing secangkir coklat panas. 

Tidak sampai 3 menit, seorang pelayan pria telah meletakkan dua cangkir berisi coklat panas di atas meja mereka. Aroma nikmat itu memecah dingin yang menyelimuti tubuh mereka. Keduanya mulai mengangkat cangkir mereka masing-masing. Seakan merasa tertuntun, secara bersamaan mereka menghirup terlebih dahulu aroma nikmat coklat panas itu. Mereka membiarkan aroma yang kuat itu menusuk indera penciuman mereka. 

Gadis berambut pirang mulai meneguk untuk pertama kali dan segera merasakan kebahagiaan yang mendalam setelah kejadian buruk yang ia alami tadi. Disusul oleh gadis berambut coklat yang telah menempel cangkirnya dengan ujung bibirnya, siap untuk mencicipi coklat panas paling enak di kota ini.

Namun, gerakan gadis berambut coklat itu terhenti. Ia teringat akan sebuah benda yang kini ia simpan dalam saku bajunya. Ia mengeluarkan benda itu, sebuah kalung indah dengan bandul bentuk bulan sabit. Ia menjadi sangat penasaran. Lupa dengan tujuan awalnya datang ke tempatnya berada sekarang. Ia malah lebih penasaran dengan kalung itu dibandingkan dengan rasa coklat panas paling enak di kota ini.

Gadis berambut coklat itu menyentuh dan mengusap bandul bulan sabit dari kalung itu perlahan. Tiba-tiba bandul berbentuk bulan sabit itu terbuka dan terdapat sebuah tulisan di dalamnya. Gadis berambut coklat itu mencoba mengejanya perlahan. “Larv Arcane Nero ne le 12 Juillet 1952”.

Tanpa perasaan curiga, gadis berambut coklat itu kembali menutup bandul berbentuk bulan sabit tersebut dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia mengangkat cangkirnya kembali. Cangkir berisi coklat panas itu ia tempelkan ke ujung bibirnya dan mencoba meneguknya perlahan. Perasaannya membaik setelah hal melelahkan tadi.

“L A R V C H O C O L A T memang tempat terbaik dalam menyajikan coklat panas. Aku akan datang kesini setiap hari.” Ia kembali meneguk coklat panas itu untuk kedua kalinya.

Mereka berdua larut dalam kenikmatan coklat panas malam itu.

Paris, 23 Desember 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAVROS: KELABANG DAN BELATI

  Kelabang dan Belati Bagaimana kabar anak yang dulunya tidak vokal sama sekali? Pendiam dan selalu mengalah. Si lemah yang bahkan tak punya daya untuk melawan semut sekalipun. Utututut.. anak manis, jadi bagaimana? Hidupmu pasti melelahkan selama ini. Mari kita bantu Si Lemah ini. Saatnya membuka cadar diri. Jika diibaratkan, dulu aku tak akan berani membunuh kelabang walaupun kelabang itu telah menggigit tubuhku sehingga meninggalkan rasa sakit luar biasa, paling banter aku akan terlebih dulu mencari gagang sapu atau benda tumpul yang bisa digunakan untuk menyingkirkan hewan keparat itu dari tubuhku. Dalam kondisi terpaksa untuk membunuh, aku pasti akan melakukannya sambil memejamkan mata.. benar-benar aku tak ingin menyakitinya sekalipun ia telah menyakitiku. Tetapi sekarang, aku tidak butuh alat bantu apapun. Aku akan membunuhnya dengan sekali injak tanpa rasa cemas. Bahkan sekalipun ia tak menggigitku namun begitu aku melihatnya mendekat, aku tanpa perasaan ragu dan cemas akan men

Tulang-Tulang Patah

But are we all lost stars,trying to light up the dark? Bagaimana jadinya Bila 2 jiwa yang buta bertemu? Saling bergandeng tangan, berharap saling menuntun? Aku,sulbi yang bengkok lagi patah Bukan dari kepala yang dijunjung agung Yang ingin bahu untuk berlindung Agar setidaknya ada setitik alasan untuk menghela napas Dia,nan jauh disana Bintang pemburu paling terang dalam orion Sanggupkah aku tetap merengkuhnya dalam dekapku? Bila yang kupunya hanya tulang-tulang  yang patah Serta akal setipis helaian rambut Cukupkah semua itu? Bagaimana bisa Bintang pemburu terlepas dari senarai bintang-bintang yang selama ini mengelilinginya Dimana jalan pulang,bila sang penunjuk arah hilang? Bagaimana bila kita berdua adalah bintang yang hilang? Mampukah tetap menerangi malam?